MASIFNYA kedatangan
wisatawan
ke Bali pasca pandemi tak hanya membawa dampak ekonomi positif, tetapi juga menghadirkan persoalan praktis yang sering luput dari perhatian. Di balik gemerlap destinasi wisata kelas dunia, tersimpan keluhan kecil para pelancong: mulai dari kesulitan menemukan colokan listrik yang sesuai, barang tertinggal di penginapan, hingga kebingungan mencari tempat menitip bagasi setelah check-out. Masalah sederhana ini kerap mengganggu kenyamanan dan bisa meninggalkan kesan kurang baik terhadap pengalaman berlibur di Pulau Dewata.
Fenomena tersebut makin terasa seiring lonjakan kunjungan wisatawan asing yang mencapai lebih dari lima juta orang per tahun. Data Dinas
Pariwisata
Bali menunjukkan, tingginya angka kedatangan tidak selalu diikuti dengan layanan pendukung yang memadai di tingkat tapak. Banyak wisatawan harus menghabiskan waktu mereka untuk mengurus hal teknis yang sebenarnya bisa diantisipasi lebih awal.
Di tengah situasi ini, muncul pendekatan layanan yang berangkat dari nilai kepedulian. Tujuannya sederhana: memastikan kenyamanan tamu sejak hari pertama hingga akhir kunjungan, dengan menyediakan solusi bagi masalah-masalah kecil yang sering muncul.
Salah satu inisiatif yang bergerak di ranah ini adalah Hey Bali, layanan yang dijalankan oleh PT Hey Timur Indonesia di Denpasar. Program yang mulai berjalan sejak pertengahan 2023 ini fokus pada pemberian bantuan praktis, salah satunya dengan menyediakan adaptor listrik secara cuma-cuma. “Hal-hal kecil seperti perbedaan bentuk
colokan listrik
bisa menimbulkan stres yang tidak perlu bagi wisatawan. Kami ingin membantu tanpa perhitungan bisnis. Tujuannya agar tamu merasa tenang sejak hari pertama di Bali,” ujar pendiri sekaligus Direktur Utama Hey Bali Giostanovlatto Sinantong dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada awal November 2025.
Adaptor listrik standar Indonesia (tipe C dan F) dapat diambil secara gratis di pusat layanan Hey Bali di Kuta. Kebijakan satu adaptor per kelompok wisatawan diterapkan untuk mendorong penggunaan ulang dan mengurangi potensi limbah elektronik.
Tak berhenti di situ, layanan bantuan barang tertinggal juga menjadi perhatian Hey Bali. Melalui koordinasi dengan berbagai penginapan, tim mereka membantu melacak dan mengirimkan kembali barang yang tertinggal ke negara asal wisatawan. “Tidak ada biaya layanan dari kami. Wisatawan hanya menanggung ongkos kirim. Prinsipnya, kami membantu seperti membantu teman yang sedang kesulitan,” kata Giostanovlatto.
Pendekatan tanpa tarif ini, menurutnya, terinspirasi dari konsep Tri Hita Karana, filsafat hidup Bali yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan sesama. “Kami berangkat dari nilai itu. Membantu tidak perlu alasan khusus,” ujarnya.
Meski berangkat dari semangat sosial, aktivitas Hey Bali turut memberi kontribusi ekonomi di tingkat lokal. Pusat layanan mereka mempekerjakan staf dari sekitar wilayah Kuta dan bekerja sama dengan penginapan, kurir, hingga penyedia transportasi kecil. Layanan penitipan bagasi dengan tarif terjangkau juga disediakan bagi wisatawan dengan bujet terbatas. “Kami ingin Bali ramah bagi semua kalangan, bukan hanya wisatawan premium,” kata Giostanovlatto.
Upaya sederhana ini bahkan menarik perhatian media internasional. Pada Oktober 2025, USA Today menulis tentang inisiatif tersebut dalam artikel berjudul “Hey Bali Initiative Simplifies Travel with Adapter Access and Lost-Item Support.”
Giostanovlatto menutup percakapan dengan keyakinan bahwa kebaikan sederhana tetap punya nilai jangka panjang. “Hey Bali hanya berperan kecil di tengah industri besar, tapi kami percaya kontribusi seperti ini bisa memperkuat reputasi Bali di mata dunia,” ujarnya.
