KABA Festival 2025 di Ladang Tari Nan Jombang, Padang, digelar Sabtu dan Ahad, 1 dan 2 November 2025. Festival ini dibuka dengan penampilan
penari
dan koreografer Rio Mefri bersama putrinya Hawa Mefri yang masih berusia 5 tahun. Mereka menampilkan
tarian
yang diberi judul
The Next
. Hari pertama itu ada tiga orang penampil yakni Rio Mefri dari Padang, Dedy Satya Amijaya dari Ponorogo dan Muslimin Bagus Pranowo asal Solo.
Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang, yang awalnya riuh, seketika hening saat pembawa acara mempersilahkan Rio Mefri dan anaknya untuk tampil.
Lampu biru dan putih perlahan merangsek ke atas panggung. Hawa Mefri berpakain serba putih duduk bersimpuh di bagian depan panggung. Secara perlahan dia berdiri dan memasang kuda-kuda silat,Rio Mefri dengan kepala plontos dan celana hitam datang dari arah belakang panggung.
Rio kemudian memeluk Hawa dan memutarnya di udara. Secara perlahan Hawa keluar dari panggung, Rio kemudian melakukan Gerakan handstand, namun bukan tangan yang jadi penopang tetapi kepalanya.
Kemudian sorotan penonton beralih ke bagian belakang panggung. Rio perlahan menghampiri sorot putih yang ditimpali warna biru dan meliukan badan ke kiri dan kanan. Gerakan ini dilakukannya secara terus menerus, bahkan sampai lampu panggung padam, pertanda pertunjukan Rio Mefri dan Hawa itu berakhir.
Dalam sinopsisnya, Rio Mefti menulis karya ini adalah pertemuan antara tubuh yang telah matang dengan tubuh yang baru belajar memahami dunia. Dalam The Next ia ingin menghadirkan sebuah tarian lintas generasi, dialog sunyi antara ayah dan anak, antara masa lalu dan masa depan, antara warisan dan kebebasan.
Hawa belum mengenal teori tari, belum hafal struktur, tapi tubuhnya sudah memahami irama. “Tarian yang dilakukan Hawa itu spontan, karena dia sejak kecil sudah melihat kakek dan ayahnya menari sehingga hadir dalam ingatan,” kata Rio usai tampil pada Sabtu, 1 November 2025 di
Padang
.
Waroeng Oemoekra Laku Dance Ponorog dari Ponorogo
Penampilan Rio Mefri disambut Dedy Satya Amijaya dengan judul Waroeng Oemoekra. Cahaya biru menyoroti panggung yang kemudian ditimpali dengan lantunan Jawa – dari belakang Dedy menggunakan topeng berjalan sambil membawa sapu lidi.
Dedy terus berputar mengelilingi panggung dan lantunan syair tetap dimainkan. Tak lama Dedy duduk di kursi dan menukar topengnya. Terompet kemudian berbunyi, walaupun pemainnya tidak terlihat. Seketika ritme gerak Dedy yang awalnya pelan menjadi kencang. Ia berteriak dan meliukkan badannya seperti lazimnya Tari Reog.
Ketertarikan Dedy Satya Amijaya terhadap karya tari Waroeng Oemoek bermula dari sebuah kegelisahan. Dalam dua dekade terakhir, dua karakter penting dalam kesenian Reog Ponorogo, Pentul dan Tembem, perlahan menghilang dari panggung. “Padahal mereka unik dan merepresentasikan masyarakat kecil,” ujar Dedy.
Dedy melihat dua tokoh itu bukan sekadar pelengkap dalam cerita rakyat Panji, melainkan simbol bagi kelas pekerja: para tukang rumput, penggembala kuda, pelayan, dan rakyat kecil yang menjadi denyut kehidupan kampung. “Saya ingin menghidupkan kembali semangat mereka, tapi lewat konteks hari ini,” katanya.
Konteks yang dimaksud adalah dunia warung kopi, tempat orang kecil bertemu, bercanda, berdebat, dan melepaskan penat di tengah tekanan hidup. Dalam pengamatannya, warung bukan sekadar ruang minum kopi, tapi juga menjadi semacam forum rakyat.
Karya Waroeng Oemoek awalnya ditampilkan berkelompok. Namun dalam edisi terbaru yang dipentaskan di Festival KABA 2025 di Padang. “Ada lima karakter di situ, semuanya kelas bawah,” katanya. Dalam pertunjukan, Dedy berganti-ganti peran menggunakan topeng, meniru logat dan gestur tiap tokoh.
Frau Troffea : Wabah Menari yang Diingat Kembali
“Tubuh bisa menjadi tempat paling jujur untuk memahami penderitaan.” Kalimat itu meluncur pelan dari bibir Muslimin Bagus Pranowo-akrab disapa Imin-ketika membicarakan karya terbarunya, Frau Troffea. Lewat tarian itu, ia menghidupkan kembali kisah nyata yang terjadi di Strasbourg, Prancis, pada 1518. Ketika itu, Frau Troffea menjadi awal adi awal orang terjangkit wabah menari tanpa henti hingga tubuh mereka ambruk. Fenomena yang kemudian dikenal sebagai
The Dancing Plague
itu mengilhami Imin untuk menggali makna tubuh, kerja, dan perlawanan manusia.
“Awalnya saya membaca berita itu tahun 2015,” ujarnya. “Tapi baru benar-benar tersentuh ketika pandemi Corona datang. Semua orang berhenti, semua diam di rumah. Di situlah saya mulai riset lagi.” katanya usai tampil di Kaba Festival 2025. Bagi Imin, wabah menari itu adalah metafora dari kehidupan manusia hari ini-terus bergerak tanpa henti, kadang tanpa tahu kenapa, kadang hanya karena tidak punya pilihan lain.
Dalam karya
Frau Troffea
, tubuh Imin menjadi medium cerita. Ia menampilkan perjalanan seorang perempuan yang menari selama tujuh hari tanpa henti-mulai dari dianggap gila, ditangkap, diikat, hingga akhirnya meninggal di gereja. “Saya ingin menghadirkan perjalanan itu seperti yang saya pahami: ketika tubuh sudah lelah tapi jiwa belum mau berhenti,” ujarnya.
Fenomena
The Dancing Plague
yang terjadi lima abad lalu, menurut Imin, sejatinya tidak jauh berbeda dengan keadaan manusia modern. Tubuh-tubuh hari ini tetap menari, tapi dalam bentuk lain: bekerja, berlari, berpacu, menyesuaikan diri dengan dunia yang tak pernah memberi ruang jeda. “Saya melihat banyak orang terkena wabah menari versi modern-mungkin bukan di jalan, tapi di media sosial,” katanya.
Baca:
Ratusan Tahun Songket Silungkang Minangkabau Bertahan
Baca:
Lain Daerah, Lain Pula Motif Songket Minangkabau















